Minggu, 25 Juli 2010

PHYSICS ARTICLES
A. Understanding Waves:
Is a form of vibration waves that crept in a medium. On the propagating waves are waves, not the substance of medium instrumentality. One wave length can be seen by calculating the distance between the valleys and hills (analyze the transversal wave) or the distance between a density menhitung with one renggangan (longitudinal wave). Fast wave propagation is the distance traveled by a wave in one second.
B. Types of Waves:
1. Transverse wave
Transverse waves are waves which direction perpendicular to the direction rambatannya rambatannya. A wave consists of a valley and a hill, such as wavelength of water, which vibrated yarn, etc..
2. Longitudinal wave
Logitudinal waves are waves which propagate in the direction coincident with the direction of vibration on each part of the existing. Wave that occurred in the form of density and renggangan. Examples of such longitudinal waves slingki / spring that is pulled to the side and then released.
Longitudinal wave is a wave that has a vibration direction parallel to the direction rambatnya example is the wave of slinki driven back and forth. When moved forward slinki ¬ Mundu-then the density and slinki renggangan will be formed as shown in Figure 5. One wavelength at the longitudinal wave is defined as the distance between two adjacent central density or the distance between two adjacent centers renggangan.
The formula of the second wave include the following:
V V = λ f = λ / T
'
Description:
T = wave period
V = wave propagation speed (m / s)
λ = wavelength (m)
f = wave frequency (Hz) Examples of longitudinal waves: wave - slinki tied at both ends on the stative is then supplied to one end harassment
- Waves of sound in air
1. Wavelength
A. Wavelength Definition
One wave length equal to the distance traveled in one period.
1) The wavelength of a transverse wave
In a transverse wave, a wave consisting of three nodes and two stomachs. The distance between two nodes or two successive stomach is called a half wave length or ½  (lambda).
2) The wavelength of longitudinal waves
Consider the following illustration!
B. Quick Potatoes Waves
Distance traveled by a wave in one second is called propagation of waves. Fast wave propagation is denoted by v and its units m / s or m s-1. The relationship between v, f, , and T are as follows:
Description:
 (lamda) = wavelength, unit meter (m)
v = velocity of wave propagation, unit meters / second (ms-1)
T = wave period, the unit seconds or seconds (s)
f = frequency wave, unit or 1/sekon 1/detik (s-1)
2. Wave Reflection
If the wave through a barrier or barriers, such as solids, then the wave will be reflected. This reflection is one of the properties of the wave.
Example Problem:
1. In a second wave generated as the image below
a. what is the frequency of these waves?
b. When the distance PQ = 2 cm, then what is?
Completion:
According to the drawings, a wave that occurred as much as two waves. Mean, f = 2 wave / second or f = 2 Hz.
In the image occurs two waves (2 ). So two  = 2 cm or  = 1 cm.
2. A string whose length is 8 m stretch and then vibrated. During the second wave of second place as in the picture below!  Define, f, T, and v.
Completion:
From the image occurs as many as four  waves.
Means: 4  = 8 m so  = 8 / 4 = 2 m
During the two second place four   or during the first occurred two  seconds.
So, f = 2 wave / second or f = 2 Hz
T = 1 / f = ½ seconds so that v =   f = 2 mx 2 Hz = 4 m s-1

Kamis, 22 Juli 2010

Mata Rantai Aqidah ASWAJA

13 07 2010

Sistem pemahaman Aqidah Islamiyyah menurut Ahlussunnah wal Jamaah sebenarnya hanyalah merupakan kelangsungan disain yang dilakukan sejak zaman Rasulullah saw dan Khulafa’ur-rosyidin. Tetapi system pemahan ini baru menonjol setelah abad ke-2 H, yaitu setelah lahirnya madzhab Mu’tazilah. Dalam konteks sejarah para imam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah atau Ilmu Kalam telah ada sejak zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Imam Ahlussunnah wal Jamaah pada saat itu adalah Ali bin Abi Tholib, yang berjasa membendung pendapat golongan Khowarij tentang al-Wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman) dan membendung pendapat golongan Qodariyah tentang masyi’ah dan Istitho’ah (kehendak tuhan dan daya manusia), serta kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat. Selain Sayyidina Ali, masih ada Abdullah bin Amr yang menolak pendapat Ma’bad al-Juhani tentang kebebasan berkehendak bagi manusia.

Di era tabi’in, muncul beberapa imam yang mngemban misi Ahlussunnah wal Jamaah, diantaranya, Umar bin Abdul Aziz dengan Risalahnya “Risalah Balighoh fir Rodd ‘alal Qodariyyah, Zaid bin Ali Zainal Abidin, Hasan al-Bashri, as-Sya’bi dan az-Zuhri. Setelah generasi ini, muncul imam Ja’far bin Muhammad Shodiq. Dari ulama-ulama fiqh dan imam madzhab juga ada yang ikut-ikut meng-counter paham-paham yang melenceng ini, diantaranya, imam Abu Hanifah dengan karyanya al-Fiqhul Akbar, Imam Syafi’I dengan karyanya Fi Tashhihin Nubuwwah war Rodd ‘alal Barohimah dan ar-Rodd ‘alal Ahwa.

Setelah periode imam Syafi’i, muncul muridnya yang berhasil menyusun paham aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya Abul Abbas ibnu Suraij. Generasi sesudah itu baru muncul imam Abul Hasan al-Asy’ari yang popular sebagai salah seorang penyelamat aqidah keimanan, lantaran keberhasilannya membendung paham Mu’tazilah.

Dari mata rantai data di atas, yang sekaligus sebagai dalil histories, dapat dikatakan bahwa aqidah Ahlussunnah wal Jamaah secara substansif telah ada sejak zaman sahabat. Artinya paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak sepenuhnya bawaan Abul Hasan al-Asy’ari. Sedangkan apa yang dilakukan oleh imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah menyusun doktrin paham Ahlussunnah wal Jama’ah secara sistematis, sehingga menjadi pedoman atau madzhab umat Islam. Sesuai dengan kehadirannya sebagai reaksi terhadap munculnya paham-paham yang ada pada zaman itu.

Corak khusus madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli. Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer, sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder. Hal ini sangat berseberangan dengan madzhab Mu’tazilah yang cenderung memposisikan akal di atas segala-galanya.

Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) asalnya adalah pengikut setia golongan mu’tazilah. Tetapi semakin menekuni ajaran Mu’tazilah, beliau semakin melihat banyaknya celah dan kelemahan yang ada dalam ajaran-ajarannya, akhirnya ketika berusia 40 tahun beliau memutuskan dan menyatakan keluar dari Mu’tazilah. Tetapi jalan yang di hadapinya setelah itu tidaklah licin dan tanpa hambatan. Sebagai bekas Mu’tazilah dan masih dalam skup yang sama, yaitu menggunakan metode filsafat dalam argumentasi-argumentasinya. Bagi sebagian orang beliau masih tetap mencurigakan dengan pemikiran-pemikirannya, bahkan tidak sedikit orang yang menuduhnya menyeleweng dan kafir. Dalam karya-karya tulisnya yang terkenal seperti, al-Ibanatu ‘an Ushulid Diyanah, Risalah fi Istihsanil Khoudl fi Ilmil Kalam, al-Luma’ dan Maqolatul Islamiyyin Wakhtilaful Mushollin, menggambarkan betapa imam Asy’ari membela diri dari serangan berbagai kalangan dan bagaimana dalam perjuangannya mengkonsolidasikan pendapat-pendapatnya, dan seruan-seruannya tentang betapa pentingnya mempelajari Ilmu Kalam.

Perumus paham Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang aqidah selain imam Asy’ari adalah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi atau lebih dikenal dengan sebutan imam Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H. Beliau adalah pengikut madzhab Hanafi. Maturidiyah dan Asy’ariyah dilahirkan dalam kondisi social dan pemikiran yang serupa. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan agar mengambil sikap tengah di antara ekstrimitas kaum rasionalis dan ekstimitan kaum tekstualis (tawasuth Bainat Tafrith wal Ifroth). Keduanya secara bersama-sama membendung dua kecenderungan ekstrimitas dalam pemikiran Islam yang melanda kala itu. Kalaupun keduanya kadang ada perbedaan pendapat, itu hanyalah dalam hal yang menyangkut masalah cabang dan detailitas semata.

Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Tathhirul Janan wal Lisan berkata, Jika dikatakan siapakah yang dimaksud Ahlissunnah, maka yang dimaksud adalah para pengikut Abil Hasan al-Asy’ari dan Abi Manshur al-Maturidi. Keduanya adalah pelopor gerakan Ahlussunnah wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid. Bahkan Ibnu Taimiyah mengakui akan jasa golongan Asy’ariyah dalam rangka menyelamatkan sendi-sendi ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fatawi-nya dari pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini, “Para Ulama’ adalah penolong ilmu-ilmu agama, sedangkan Asya’iroh adalah para penolong ushuluddin”.

Sumber. Risalah NU, Fiqh Tradisional (KH. Muhyiddin Abdusshomad). Pegangan Praktis Faham Ahlussunnah wal Jama’ah (PP LDNU), Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia. Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlotul Ulama, dll.